Model Kesesuaian Habitat dan Faktor-faktor Penentu Kualitas Habitat Gajah Kalimantan

1. Konsep Habitat dan Pemodelan Kesesuaian Habitat
Tempat-tempat yang dipergunakan untuk melakukan berbagai aktivitas satwa liar dan membentuk suatu kesatuan disebut habitat. Kuantitas dan kualitasnya perlu dijaga kelestariannya, sehingga tetap berfungsi sebagai tempat mencari makan, bermain, tidur, istirahat, berlindung dan berkembang biak. Hal yang cukup penting dalam suatu habitat adalah keanekaragaman populasi atau jenisnya, makanan, pelindung dan variasi yang besar pada vegetasi di daerah tropis telah banyak memberikan kekayaan dan keanekaragaman yang tinggi dari satwa liar sebagai penghuninya. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis yang lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Alikodra, 1989).
Kesesuaian habitat merupakan suatu konsep penting dalam ekologi satwaliar yang menyatakan kemampuan habitat untuk menyediakan kebutuhan hidup. Indeks kesesuaian habitat dapat dideterminasi, dengan menghitung kualitas habitat menggunakan atribut-atribut yang dipertimbangkan penting bagi suatu spesies. Indeks kesesuaian habitat didasarkan pada asumsi bahwa individu atau kelompok suatu spesies akan memilih daerah yang paling memenuhi kebutuhan hidupnya (Coops & Catling, 2002), untuk kemudian dibangun suatu model kesesuaian habitat yang dapat menilai kualitas habitat satwaliar secara akurat (Brooks, 1997; Schamberger et al., 1982; Cole & Smith, 1983).
Model adalah suatu abstraksi dari sistem dunia nyata, sedangkan pemodelan adalah bentuk pengembangan dari analisis keilmuan dengan berbagai alat dan cara. Muntasib (2002) menekankan bahwa pemodelan adalah suatu alat untuk memecahkan permasalahan, karena itu sasaran utamanya, bukan bagaimana membuat pemodelan, tetapi bagaimana memanfaatkan model yang dibuat untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dan dapat mengerti mengenai keadaan suatu sistem yang kompleks. Melalui pemodelan akan dapat disederhanakan permasalahan yang dihadapi dalam dunia nyata dengan cara mengambil fungsi-fungsi dari suatu sistem yang dimodelkan. Dengan demikian, pemodelan dapat membantu dalam membuat konsep, pengaturan dan komunikasi fenomena yang rumit, dapat memberikan informasi mengenai sifat-sifat dari suatu sistem secara keseluruhan, hal ini akan sulit dari gambaran keadaan secara parsial.
Pembuatan pemodelan spasial bertujuan untuk membantu pengambil keputusan ataupun analis untuk memahami, menggambarkan dan memperkirakan bagaimana suatu proses bekerja dalam dunia nyata melalui penyederhanaan fenomena maupun fitur (Jaya, 2007). Dalam pemodelan spasial kesesuaian habitat, pemilihan peubah ekologi bergantung pada ketersediaan data spasial. Hal ini karena ketersediaan data spasial merupakan pembatas utama dalam membangun model-model terkait dengan perjumpaan spesies (Osborne, 2001).

2. Pergerakan dan Penyebaran Gajah Kalimantan serta Faktor-faktor Penentu Kualitas Habitatnya di Wilayah Kabupaten Nunukan

Penyebaran merupakan suatu gerakan individu ke dalam atau ke luar dari suatu populasi. Penyebaran satwaliar di dunia erat kaitannya dengan sejarah kondisi ekologi, iklim dan evolusi bumi beserta isinya, perubahan-perubahan geologis dalam evolusi serta perubahan-perubahan iklim jangka panjang menentukan tipe dan komposisi vegetasi ataupun makanan satwaliar. Tersebarnya satwaliar juga sesuai dengan kemampuan pergerakan dan kondisi lingkungan seperti adanya pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat (altitude) dan letak geografis. Pergerakan satwaliar baik dalam skala luas maupun sempit merupakan usaha untuk memenuhi tuntutan hidupnya. Pergerakan ini erat hubungannya dengan sifat individu dan kondisi lingkungannya seperti persediaan makanan, fasilitas untuk berkembang biak, pemangsaan, kondisi cuaca, sumber air maupun adanya perusakan lingkungannya. Mereka bergerak untuk mencari makan, mencari air dan untuk berkembang biak ataupun untuk menghindarkan diri dari pemangsa dan gangguan lainnya (Alikodra, 1989).
Gajah Kalimantan mempunyai sebaran yang terbatas dan hanya ditemukan di bagian Utara Pulau Kalimantan (Sabah Malaysia dan Kalimantan Indonesia) (Ambu et al., 2002; Wulffraat, 2006; Riddle, 2010; Suba, 2013). Di wilayah Sabah yang telah didata, terdapat lima populasi habitat Gajah Kalimantan (Ambu et al., 2002; Riddle, 2010). Di wilayah Kalimantan Timur hanya terdapat satu lokasi populasi Gajah Kalimatan yaitu di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan (Gambar 2) (Wulffraat, 2006; Riddle, 2010).

Untitled

Gambar 2. Penyebaran Gajah Kalimantan di Wilayah Kabupaten Nunukan (Soehartono dkk., 2007)

pada umumnya masih banyak diragukan oleh masyarakat Kalimantan Timur. Yasuma (1994) hanya dapat mendeteksi keberadaan satwa ini di Ulu Sebuku-Sembakung melalui informasi masyarakat setempat. Selain bukti-bukti berupa jejak kaki, kotoran dan suara yang terdengar dari kejauhan, masyarakat di daerah Sebuku yang biasa masuk hutan telah melaporkan beberapa kali perjumpaan dengan gajah-gajah liar di sekitar hulu Sungai Agison, Tulid, Apan, Sibuda, Kinomo, Balang dan Batu Mapan. Di kawasan ini terdapat sumber air asin (saltlick; sepan) yang dimanfaatkan oleh herbivor besar seperti gajah. Sepan merupakan sumber mineral yang harus dibutuhkan oleh herbivor, walaupun dalam jumlah kecil, untuk kepentingan metabolisme dan menetralisir racun yang masuk melalui dedaunan tumbuh-tumbuhan yang dikonsumsi. Payne (1992 dalam Suba, 2013) mengungkapkan bahwa seperti herbivor besar lainnya yaitu badak, gajah tak bisa menyebar luas karena terikat dengan habitat yang punya kandungan mineral tinggi, terutama kaolinit.
Perkembangan selanjutnya, antara tahun 2001-2003, WWF dalam kerangka project AREAS dan pengusulan calon Taman Nasional Sebuku Sembakung berusaha untuk mendapatkan bukti-bukti keberadaan populasi gajah liar di daerah tersebut. Beberapa hasil survey hanya berhasil mendapatkan jejak, sisa-sisa makanan dan kotoran gajah liar di kawasan tersebut. Pada sekitar tahun 2004, masyarakat Kecamatan Sebuku (sekarang Kecamatan Tulin Onsoi) mulai melaporkan terjadinya gangguan gajah liar yang masuk ke pemukiman penduduk dan areal perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2005, rekaman pertama keberadaan dan gangguan gajah liar di wilayah Sebuku berhasil diperoleh masyarakat di Desa Semunad dan Desa Sekikilan. Akhirnya pada tahun 2006, tim terpadu yang terdiri dari aparat Kecamatan Sebuku pada waktu itu, BKSDA Kalimantan Timur, WWF-Indonesia TNKM dan masyarakat Desa Sekikilan berhasil merekam keberadaan gajah liar di Desa Sekikilan.
Model kesesuaian habitat dibangun berdasarkan komponen habitat yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran lapang yang telah diuji signifikansinya Faktor-faktor yang digunakan sebagai penyusun model adalah faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap kesesuaian habitat (Manly et al., 2002). Model kesesuaian habitat Gajah Kalimantan memang belum tersedia, sehingga asumsi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap kesesuaian habitatnya mengambil referensi dari model-model kesesuaian habitat gajah di Sumatera (Abdullah, 2009; Rood, 2010). Namun demikian, dari beberapa model kesesuaian habitat tersebut dapat diketahui bahwa ada beberapa atribut yang memiliki pengaruh berbeda terhadap preferensi habitat gajah, tergantung karakteristik faktor alami lansekap dimana habitat gajah berada.
Menurut Abdullah (2009), variabel habitat yang sangat menentukan dalam pemilihan habitat gajah adalah jarak ke hutan primer dan kemiringan lahan. Jarak ke hutan primer dibutuhkan gajah dalam rangka aktivitasnya di hutan primer diantaranya interaksi sosial, menghindari musuh, reproduksi dan aktivitas makan. Keberadaan hutan primer penting bagi gajah sebagai penyedia sumber daya dan ruang dan sesuai, spesifiknya sebagai tempat untuk bernaung dan beristirahat.

Tinggalkan komentar